Awalnya semua orang curiga pada lelaki itu, sebelum kisah ini benar-benar terungkap.
Beberapa hari yang lalu, ketika senja baru saja tiba dan belum sempat menidurkan burung-burung yang sering hinggap di atap surau, seorang lelaki terlihat mengintip dari sebuah jendela di surau. Dari jendela itu si lelaki bisa melihat seluruh ruangan salat. Wajahnya yang berkumis dan dengan kulit legam seperti tersihir oleh angin pelesir yang tiba-tiba menyingkap pikirannya.
Kata orang-orang, lelaki itu adalah seorang preman pasar yang selalu bikin onar. Memeras pedagang atau mabuk sudah biasa dilakukannya setiap hari. Jika dikirakan mungkin tak sedikit orang yang membencinya. Bahkan sebagian orang menginginkan dirinya mati saja. “Sebab, merugikan orang lain itu lebih rendah dari binatang!” Izul terlihat kesal saat menceritakan peristiwa itu pada temannya, seusai menunaikan salat magrib.
Betul saja, Izul lagi-lagi memergoki lelaki itu di suatu sore. Orang semacam dia pasti dicurigai akan melakukan hal-hal yg buruk di surau. Apa lagi sudah beberapa kali ketahuan dengan gerak- gerik seperti itu: layaknya pencuri kotak amal atau pencuri seperangkat mic dan pengeras suara yang baru saja dibeli dari hasil urunan warga kampung ini. Tapi entah mengapa, sampai saat ini, kecurigaan itu sama sekali tak pernah terbukti.
Hingga di hari berikutnya, Haji Badru menanyainya, “sedang apa, pak?” Haji Badru menepuk pundak lelaki itu yg–seperti biasa–sedang asyik megamati keadaan dalam surau. “Kenapa tak ambil wudhu dan masuk saja. Sebentar lagi magrib. Kita berjamaah.” Lelaki itu diam dan berlalu saja tanpa pamit. Bahkan sebuah salam sama sekali tak keluar dari mulutnya.
Izul yang tak lama kemudian tiba di masjid langsung menghampiri Haji Badru. Izul bercerita tentang lelaki itu beberapa hari sebelumnya. Haji Badru hanya mengangguk-angguk saja. Entah apa yg dipikirkan Haji Badru. Dia hanya tersenyum dan mmeberi isyarat untuk masuk.
Sementara itu, laron-laron mulai memenuhi surau. Mereka terbang tak terkendali mengitari lampu surau. Izul heran, tak seperti biasanya di musim kemarau seperti sekarang, seharusnya laron belum muncul untuk mencari sumber cahaya sebelum kematiannya datang. Dan Haji Badru sudah memulai salat magrib, menjadi imam.
***
Di lain hari, Haji Badru sengaja tiba lebih awal. Sepertinya dia bermaksud menunggui lelaki itu. Sambil bershalawat dan berzikir, Haji Badru khusuk berada tepat di belakang sejadah tempat imam memimpin salat. Hingga akhirnya lelaki itu tiba.
“Masuk, saja. Di situ, kau akan mulai merasa pegal.”
Si Lelaki kaget. Belum sempat dia melihat-lihat, Haji Badru sudah menebak kedatangannya.
“Apakah org seperti saya pantas masuk surau?”
“Yang tak pantas, malah jika kau terus saja berada di luar jendela itu. Terlebih orang-orang akan menyangka kau adalah seorang pencuri.”
Si lelaki diam. Angin pelesir kembali menimpa wajahnya yang berminyak dan sudah mulai berkeriput. Matanya terpejam. Dia merasa belum pernah merasakan kesejukan seperti ini. Telinganya pun damai sekali mendengar kicau burung yang bersahutab , seakan membicarakan tentang kehidupannya hari ini.
“Cukup di sini saja, Pak Haji. Saya suka angin yang berlelalu lalang melalui jendela ini.”
“Kuyakin, kau akan lebih suka jika mengambil wudhu dan masuk kemari.”
“Saya tidak bisa wudhu, Pak Haji.”
“Ucapkanlah salam, dan masuklah!”
Dengan langkah ragu, lelaki itu masuk menghampiri Haji Badru. Tubuhnya menggigil. Mata dan kepalanya tak berhenti berputar memperhatikan lafaz Tuhan yang penuh di dinding. Angin-angin segar itu sangat menyenangkan baginya. Kulit yang biasa terbakar panas terik matahari di pasar, kini bisa santai dan istirahat. Dia tak pernah menemukan kedamaian ini sebelumnya.
“Pak Haji, saya ingin taubat.”
“Ambil wudhu, salat dan bersungguh-sungguh minta ampun pada Allah.”
“Saya tidak bisa, Pak Haji. Saya lupa cara wudhu dan salat.”
“Saya akan mengajarkannya untuk kau.”
Haji Badru mengajaknya ke tempat wudhu. Mempraktikkan wudhu dan segala doanya. Lalu, diajaknya kembali masuk surau dan menunggu azan magrib.
Sayang sekali, sebelum salat dimulai. Lelaki itu sudah hilang dari sekitaran surau. Haji Badru pun tak mengetahui kemana perginya. Tapi sepertinya Haji Badru tahu jika dia ketakutan melihat orang berbobdong-bondong menuju surau. Dan Haji Badru juga tahu, bahwa esok hari pasti dia akan datang kembali.
***
Sore berikutnya, Haji Badru tiba di surau dan mendapati lelaki itu sedang duduk di dalam surau. Rambutnya basah dan wajahnya tak berminyak. “Dia sudah bisa berwudhu sekarang.” Bisik Haji Badru pada dirinya sendiri. Pak Haji Badru mengangguk-angguk. Entah apa lagi yang dipikirkannya.
“Assalamualaikum.” Lelaki itu tak menjawab. Namun dia bangkit dari duduknya dan hendak pergi. Haji Badru menjabat tangan lelaki itu. “Mau kemana? Silakan teruskan.”
“Saya sedang shalawat, Pak Haji.” Haji Badru bingung. Dan akhirnya tersenyum. “Saya sering dengar di surau dekat kampung saya, dulu. Jadi saya sedikit-sedikit bisa shalawat, Pak Haji.”
Semenjak itu, surau itu selalu mengumandangkan shalawat sebelum azan magrib. Dan setelah azan magrib, lelaki itu kembali menghilang. Peristiwa itu membuat warga kebingungan meski kecurigaan tetap saja ada. Hampir setiap hari lelaki itu bershalawat di surau sebelum magrib tiba. Burung-burung dan laron terlihat nyaman dengan suasana itu. Burung-burung yang biasa hinggap di atap suarau pun seperti terenyak. Mungkin mereka ingin menikmati suara itu.
***
Hari ini, shalawat itu tak terdengar lagi. Berita tentang kematiannya di pasar, baru terdengar oleh sebagian warga. Kabar itu pun sampai ke telinga Haji Badru. Tak ada yang mengintip di jendela itu, pikirnya. Tak ada shalawat yang membuat burung-burung itu betah di atap surau.
Di selasar suaru, Haji Badru menengadah ke arah langit. Banyak burung-burung dan kelelawar yang hendak pergi ke suatu arah yang sama. Padahal ini sudah sore, tak juga mereka beristirahat, pikirnya. Dari kejauhan, Izul memperhatikan Haji Badru.
“Ada apa Pak Haji?”
“Bagaimana rasanya terbang bersama burung dan kelelawar itu ya? Lepas. Lepas begitu saja. Seperti terlihat menjauh dari sini, padahal mereka semakin dekat dengan tujuannya. .”
Haji Badru tersenyum. Memandangi burung dan kelelawar yang terbang itu. Dengan membawa kebingungan, Izul pergi menuju ke dalam surau. Dia menggeleng-gelengkan kepala.
“Pak Haji, banyak sekali laron yang mati tergeletak di lantai surau! Padahal lampunya belum dinyalakan.” Teriak Izul dari dalam surau.
Pak Haji Badru hanya tersenyum. Bersama setiap langkahnya menuju ke dalam surau, dia tak hentinya bershalawat; sekeras kepakakkan sayap burung dan laron itu yang mencoba bangkit menuju ke atas, ke arah pulang mereka masing-masing.
08 08 15
penulis : Deden, penggiat sastra. Alumni FKIP UNPAK