Jam 16.50.
“Lagi nunggu dijemput ya?” tanyaku pada wanita di sisi lain bangku taman kota.
Dia menoleh ke arahku. Terbelalak sebentar, lalu setengah teriak, “Haai…!! Kak Yudha.. apa kabar?”
Aku tersenyum.
“Baik kok. Kebetulan banget ya, bisa ketemu di sini?”
“Iya. Saya baru pulang kerja. Tadi sih suami bilang mau jemput saya sekalian dia ada kerjaan di daerah sini. Kamu baru pulang kerja juga?”
“Ah, enggak kok. Lagi santai aja. Menikmati sore hari ini. Lihat orang-orang lalu lalang.”
“Widiiih, tajir nih kayaknya. Udah jadi bos.. Kereeen.. Dari dulu Kak Yudha tuh emang kayaknya enaaak banget ya. Santaaai… ngerjain apa-apa slow.. tahu-tahu beres aja. Top deh. Pelihara jin ya?”
Aku tertawa saja mendengar perkataannya.
Tiba-tiba ingatanku kembali ke masa 7 tahun yang lalu. Saat itu aku masih berstatus mahasiswa semester akhir. Karena mata kuliah sudah selesai semua, hanya tinggal urusan skripsi saja, aku memutuskan untuk mengisi waktu luang dengan bekerja sambilan di kedai roti bakar milik pamanku.
Di sanalah aku bertemu Lovi, seorang gadis mungil dan imut, bersama beberapa temannya. Mereka memesan roti bakar dan minuman. Belakangan, aku baru tahu kalau mereka adalah mahasiswi sebuah akademi akuntansi.
Sebetulnya sih tak ada yang istimewa tampilan dari sosok Lovi. Tapi aku lihatnya kok ada manis-manisnya gitu, ya? Hehe..
Waktu itu, entah kenapa, mataku langsung tertuju pada Lovi. Dia punya senyum yang manis. Aku yang sudah lumayan mahir melayani pengunjung kedai, malah dibuat salah tingkah dan agak gugup.
“Kak Yudha?” suara Lovi membuyarkan lamunanku 7 tahun yang lalu. “Kamu kerja di mana emang? Bisa santai begini? Ini kan hari kerja..”
“Yah, Vi.. Saya mah apah atuhh..? Hehe.. Gak kerja dimana-mana. Cuma buka usaha aja. Modal patungan ama temen-temen. Alhamdulillaah naik turun, biasalah.”
“Oya? Hebat. Usaha apa?”
“Kedai makan kecil deket kampus. Pengen niru kesuksesan paman saya..”
“Kereen..” Dia menunjukkan jempolnya padaku.
Kami diam.
Lalu lalang orang pulang kerja semakin ramai. Laju kendaraan juga semakin melambat karena makin padat volume kendaraan di jalan.
“Ka Yudha… udah nikah?” tanya Lovi kemudian. Awalnya kukira dia tak akan bertanya itu. Tapi perkiraanku salah ternyata.
Aku jadi haus. Kuambil minum di saku tasku.
“Belum Vi..” jawabku.
“Oh.. Kenapa? Kak Yudha kan udah sukses. Pengusaha. Masa gak ada cewek yang mau?”
“Iya.. Gak tahu juga. Emang belum datang jodohnya aja kali..”
“Tapi, bukan… karena saya kan…?”
DORRR!! Dia bisa baca pikiranku.
“Bukanlaaah.. Ge eRR iih.. hahaha!” kataku pada akhirnya.
Kami tertawa bersama. Entah karena apa. Dan entah untuk apa. Bagiku, tertawa mungkin untuk menutupi kekecewaanku dulu. Entah Lovi tertawa karena apa.
Pertemuan keduaku dengan Lovi lagi-lagi terjadi secara tak sengaja. Waktu itu aku sedang mengumpulkan data untuk skripsiku. Melakukan wawancara dengan pedagang-pedagang pasar. Di saat itulah aku bertemu Lovi. Terlihat dia sedang bersama seorang anak kecil. Mungkin adiknya, pikirku saat itu
Sekalian ambil data, aku membeli beberapa bahan makanan untuk di kedai paman. Lumayan ribet juga. Di tanganku yang satu, kubawa banyak belanjaan, di tangan yang lain kubawa kuesioner isian para pedagang pasar. Sementara tas punggungku sudah penuh dengan laptop dan buku.
“Hai, Bang!” sapa Lovi padaku waktu itu. Dia tersenyum lagi.
“Oh, h-hai.. Mba yang dulu ke kedai paman saya ya?” aku pura-pura lupa lupa ingat.
“Pinteerrr… Repot banget kayaknya ya bang? Mau saya bantu bawain?”
“Ng-nggak usah mba. Ga apa-apa. Biasa aja. Gak berat kok.” Tiba-tiba kumpulan berkas kuesionerku terjatuh.
“Naah… saya bantuin bawain ini aja, oke?” kata dia sambil memungut berkas-berkas yang terjatuh.
“Oh, iya deh, makasih lho ya,” kataku. “Lagi apa nih? Itu adiknya ya?”
“Ini keponakan saya, Romi. Hari ini dia ulang tahun yang ke 7. Jadi saya mau beliin hadiah. Makanya saya ajak ke sini.”
“Kenapa gak belanja online aja mba? Daripada panas-panasan, desak-desakan di sini,” usulku.
“Yaaah, simpelnya sih begitu. Tapi sekalian saya cari ide untuk laporan akhir saya bang. Yah, anggap aja biar jadi pengalaman, buat saya dan Romi.
Sampai di pinggir jalan raya, aku bilang padanya, “Sampe sini aja mba bantuinnya. Cukup kok. Makasih. Dari sini saya pake angkot ke kedai paman.”
“Lha ini kita lagi cari-cari tempat makan. Laper nih, iya kan Rom?” tanya Lovi pada keponakannya. “Saya udah order mobil online kok. Ke kedai Roti Bakar Pa Jani kan? Kita tunggu aja. Sekalian saya dan Romi pengen makan..”
Aku tertegun. Entahlah apa yang kurasakan waktu itu. Antara sungkan, malu, grogi, tapi senang bukan kepalang. Rasanya, semua beban yang kubawa mendadak hilang, ringan seperti bulu.
***
Sore menjelang. Mentari mulai mengarah ke ufuk barat. Kendaraan sudah padat. Terlihat wajah-wajah lelah setelah bekerja seharian. Mengharapkan kebahagiaan segera sampai di rumah dengan selamat. Bertemu keluarga tercinta.
Kurebahkan punggung pada bangku taman, seraya meluruskan kaki.
“Udah punya anak, Lov?” tanyaku.
“Udah. Ini nih lihat nih.” Dia menunjukkan dokumen album di HPnya. “Baru 3 tahun, lucu kan?”
“Iya, lucu. Ada lesung pipinya. Namanya siapa?”
“Safira.”
“Keponakanmu, si Romi itu sekarang gimana? Udah gede ya?”
“Iyalaah. Udah SMP dia. Udah gak mau saya ajak sana sini. Malu, hahaha…”
“BTW, dapet suami orang mana?”
“Eu.. Dia aslinya sih orang Tasik. Tapi dapet kerjaan di sini. Tadinya saya gak kerja. Cuma setelah Safira udah mulai bisa main sendiri, udah bisa ditinggal, saya mutusin untuk kerja lagi. Suami mengizinkan. Jadi ya.. beginilah..”
Kami kembali terdiam.
Aku sendiri entah bingung, entah apa, rasanya seperti tak ingin membahas soal anak dan suami Lovi, tapi… “Coba telpon suaminya. Sudah dimana? Kok belum datang juga,” saranku.
“Iya, ini juga sedang saya coba telpon, tapi sibuk terus telponnya.” Sesaat kemudian HPnya berbunyi. “Iya pa? Udah di mana? Ya? Macet ya? Masih jauh ga? Oh, iya.. iya. Oke ditunggu kok. Saya lagi di bangku taman yang deket… spanduk gambar walikota.”
“Macet ya?” tanyaku basa basi.
“Iya, sudah gak jauh, tapi terjebak macet.”
“Yah, resiko sih pulang jam segini. Semua orang kerja, karyawan, pada pulang kerja jam segini.”
Kami kembali terdiam.
“Kak Yudha… ga apa-apa kan?” tanya Lovi. “Kok jadi diem gitu?”
“Ng? Iyaah… I’m fine.. Mendadak jadi inget kita dulu aja..”
“Yah.. well… ya… itu kan masa lalu Kak. Yang lalu biarlah berlalu, betul kan?”
“Iya, tapi buat saya sendiri, sulit dilupakan. Hehe.. Maaf ya..”
“Iih.. kamu kok jadi melow begitu sih? Kayaknya, saya yang harus minta maaf ya?”
“Untuk?”
“Ga tau..” Lovi diam sejenak. Lalu dia melanjutkan, “Tapi, dulu kan Kak Yudha yang mutusin saya…”
Aku menghela napas. Sudah kukira kalau aku mengungkit masa lalu, pasti dia akan menyalahkanku. Karena faktanya memang begitu. Aku yang memutuskan hubungan kami.
“Kan Kakak yang ingin putus. Kan Kakak yang nelpon saya malam-malam. Dan memutuskan begitu saja. Saya nangis-nangis juga waktu itu Kakak gak peduliin.. telponnya malah diputus..”
Kali ini Lovi agak emosi nada bicaranya. Aku diam.
“…Abis gitu gak ada kabar-kabar sama sekali. Beneran ingin putus. Tiba-tiba gitu lho. Saya gak ngerasa ada salah apa-apa..” kulihat dia berkata sambil gemetar. Seperti hendak menumpahkan kekesalannya waktu itu, sekarang. “Salah saya apa, Kak? Apa?”
Aku masih diam.
***
Sesampainya di kedai paman, aku meletakkan semua belanjaan di dalam. Paman yang melihatku datang bersama seorang gadis dan anak kecil tampak keheranan.
“Pacarmu, Yud?”
Aku nyengir. “Boro-boro pacaran.. Tau namanya aja gak.”
“Kok bisa? Emang di jalan gak ngobrol?”
Aku diam. Iya juga ya. Kenapa gak ambil kesempatan ngbrol-ngbrol sewaktu di jalan tadi ke kedai.. dasar Yudha bego, pikirku.
“Mba mau makan apa? Biar saya yang traktir ya. Jangan nolak ya.. kan tadi udah bantuin saya sampe sini. Jadi enak. Sering-sering aja begitu yak,” candaku.
“Lha, jangan bang. Kan kita emang niatnya mau cari makan. Kebetulan aja ketemu bang… eu..”
“Yudha. Saya Yudha”, jawabku. “Oiya, jangan panggil ‘bang’ dong. Kesannya saya jauh lebih tua.”
Lovi tersenyum. Ya ampuun, manis sekali… benakku.
“Saya harus panggil apa dong?”
Aku baru saja membuka mulut, tepat ketika paman menepuk kepalaku. “Panggil namanya aja, Mba. Yudha, gitu. Hehehe.. kalo dipanggil Mas atau Aa, nanti dia klepek klepek.. hahaha!!”
Kami tertawa bareng.
Pamanku melanjutkan, “Untung hari ini lagi sepi. Kau bisa ada waktu becanda dengan mba cantik ini. Mba siapa namanya mba?”
“Saya Lovi pak. Bapak… pamannya Mas, eh, Aa, eh, Kak Yudha ya?”
Eeeaaa!!! Aku dipanggil ‘Aa’… seneng banget….
“Tu adiknya mba Lovi?”
“Itu keponakan saya, pak.” Lovi mengalihkan perhatiannya pada Romi. “Romi mau makan mie rebus atau roti bakar?”
“Mie rebus ama roti bakar,” jawab bocah itu.
“Oke! Saya buatkan dulu ya,” ucapku bersemangat. Tapi segera ditahan olah paman.
“Sudahlah, biar paman saja. Kamu di sini aja temanin Mba Lovi ini,” katanya sambil berlalu ke dalam dapur kedai.
Aku masih posisi setengah berdiri setengah duduk, “Kalo gitu saya ambil minum dulu ya. Pasti haus.”
“Makasih Kak. Ngomong-ngomong, Kak Yudha gak bilang kalo Kak Yudha ternyata mahasiswa juga ya?”
“Ng?” aku menoleh. “Kok tahu?”
“Romi, sini ini minum dulu. Sini duduk di sini,” ujar Lovi pada keponakannya. Lalu beralih padaku, “Saya baca-baca berkas kakak tadi yang jatuh. Ada kertas macam kuesioner para pedagang, trus ada revisian skripsi atas nama Kak Yudha. Berarti Kak Yudha lagi nyusun skripsi kan?”
Cerdas, pikirku.
“Eu.. I, iya. Belum beres ambil datanya. Sebab susah juga, pedagang di pasar kan lagi pada jualan, saya malah tanya-tanya, hehe..” kataku. “Mba Lovi juga mau siap-siap nyusun tugas akhir kan?”
“Iya, tapi… tau deh. Puyeng ah. Tapi, kalo gak dikerjain juga ntar gak beres-beres, hihi.”
“Mau saya bantuin?” aku mengajukan tawaran bodoh, karena aku tak tahu apa-apa soal akuntansi.
“Emang Kak Yudha bisa?” lalu dia menyedot minumannya.
“Nggak.”
Lovi setengah tersedak karena tertawa kecil.
Manis sekali…
***
Jam tanganku menunjukkan waktu 17.01.
Setelah agak lama diam, akhirnya aku membuka suara.
“Kamu tahu, Lov. Alasan kenapa aku memutuskan hubungan kita.. karena kamu terlalu banyak membuka tentang hubungan kita pada orang lain. Bahkan terkesan berlebihan, menurut saya. Kamu terlalu banyak bicara tentang kita. Saya gak suka..”
“Tapi kan mereka teman-teman saya, Kak. Saya hanya ingin berbagi cerita sama mereka. Berbagi kegembiraan hati saya waktu itu.”
“Yah, saya gak membahas teman-temanmu saja. Ada lagi. Dan ini alasan utamanya. Seorang wanita menelpon saya dan mengaku sebagai tantemu meminta saya untuk segera memutuskanmu. Sebab katanya keluarga besarmu sudah menjodohkan kamu dengan lelaki lain.”
Kali ini Lovi tersadar sesuatu. Kedua alisnya terangkat.
“Kalau kamu memang sudah dijodohkan dengan orang lain, seharusnya kamu bilang dari awal Lov. Supaya saya gak berusaha deketin kamu,” ujarku.
Lovi menggelengkan kepala, “Sa, saya gak tahu Kak. Serius, s-s, saya gak tahu kejadian itu.”
“Iya, tantemu itu juga bilang begitu. Saya gak boleh ngomong apapun soal telponnya waktu itu. Dan saya dilarang berkomunikasi denganmu dalam bentuk apapun…”
Mata Lovi terlihat memerah. “Tante… ternyata… waktu itu…” Lalu dia beralih padaku. “Lalu, kenapa… kenapa Kakak gak kroscek dulu ke saya? Gak tanya dulu, apakah emang dia tante saya atau hanya orang yang sekedar ngaku-ngaku..”
Aku mengangkat bahu.
“Gak tahulah Lov. Yang jelas, dia tahu soal hutang paman saya yang sulit dibayar. Dia bilang, kalo saya mutusin kamu dan gak menghubungi kamu lagi, hutang paman akan lunas. Saya juga gak paham bagian itu. Kasian Lov, paman saya tinggal sendirian. Beliau gak punya anak dan istrinya sudah meninggal. Setidaknya saya bisa membantu paman melunasi hutangnya.”
Terlihat kali ini Lovi menahan air mata.
“Tante… kenapa…” gumamnya.
“Dan… setelah saya menelponmu malam itu, saya bilang putus, dua hari kemudian datang orang ke kedai paman dan menyampaikan bahwa hutangnya telah dilunasi. Saya lihat dari jauh, saya senang dan sedih sekaligus…”
Lovi menangis. Dia menutupi wajahnya.
“Maaf ya Lov. Tapi itulah kejadiannya. Saya…”
Aku menunduk. Tak bisa meneruskan kata-kata. Entah harus apalagi yang ingin kubicarakan. Dari 7 tahun yang lalu aku memendam cerita ini. Benar-benar ingin kusampaikan pada Lovi. Rasanya lega hati ini sudah menceritakan kejadian sebenarnya.
Kuambil tas ranselku, lalu bangkit dari duduk. Berusaha untuk tersenyum.
“Saya duluan ya, Lov. Lega akhirnya saya bisa ngobrol sama kamu, tentang kebenaran putusnya hubungan kita. Seperti yang kamu bilang, yah sudahlah. Yang lalu biarlah berlalu..” aku menghela napas.
Aku mulai melangkah perlahan.
Terdengar bunyi klakson dari arah depanku. Lalu setengah berlari, Lovi menyalipku menuju mobil yang tadi membunyikan klaksonnya.
“Maaf say, lama. Muacet nih..” kata lelaki di dalam mobil.
“Ga apa-apa.. yuk ah! Kita pulang. Kangen Dede Safira..”
Lamat-lamat, hanya suara klakson dan deru kendaraan yang terdengar.
***
Selesai ditulis di
Bogor, 24 Mei 2018 / 7 Ramadhan 1439H