Dari Lantai 2 gedung lama terdengar sirine berdering melengking di udara. Saru-saru tepuk tangan bersahutan terdengar samar ke ruang kerja kantor kami. Mesti ini peresmian gedung tempatku bekerja, sungguh Aku sama sekali tak berniat menghadiri acara akbar hari ini. Tapi tunggu sebentar bukan hanya aku sepertinya yang tak bersemangat menghadiri sejarah penting bagi kantor. Zezen, rekan ku yang pendiam dan irit bicara pun rupanya memilih hal yang sama dengan ku. Kami memilih berleha-leha menyeruputsecangkir kopi dan melalaikan tugas kami. Aku dan ZenSesekali mengintip di balik jendela sambil mengobrol ngaler ngidultanpa arah.
Sudah tiga tahun berlalu, akhirnya gedung baru kantor kami dibuka dengan segala kemegahan dan kedigjayaannya yang mengharu biru. Tak hanya kalangan dan para petinggi kantor yang menghadiri. Jas hitam dan sepatu mengkilapmondar mandirdibalik stir. Terlihat juga beberapa pejabat daerah dan pengusaha besar pun turut hadir dan larut dalam peresmian gedung baru itu. Nampak dengan jejeran hiasan bunga lengkap dengan ucapan selamat terpampang dari depan gerbang kantor hingga panggung tempat peresmian gedung dibuka. Wajah-wajah dengan tawa sumringah yang ku kenal pun mulai berseri-seri membalas ucapan selamat dari para tamu undangan yang datang silih berganti. Ada sajian makanan siang catering yang menggugah di tenda seberang tempat peresmian. Kudapan khas kota hujan yang menggoda lidah turut menyempurnakan peresmian gedung. Panita terlihat sibuk lalu lalang dengan pakaian khas suku sundaberwarna hitam bagi pria dan kebaya bagi wanita nampak melengkapi kebahagiaan siang ini. Semuanya nampak bahagia sepertinya.
Sudah tiga tahun berlalu, aku yang bertambah anak belum beranjak dari sensus penduduk dengan predikat keluarga sejahtera 1. Sebuah predikat yang bisa jadi ditandai dengan perekonomian dan kebermilikan atas sebuah barang. Sebuah predikat yang bagi kebanyakan menjadi sebuah keganjalan bila dilihat dari luar.
“Tak akan ada yang percaya dengan celoteh mu, kawan”. Bisik Zen dalam diamnya
“Kenapa memangnya ?”
“Masa dengan sapaan mereka atas kita?” “mereka percaya berapa uang di kantong bolongmu”.
“Tapi apa iya”, aku mencoba membantah
“Tapi apa?” Zen yang diam tambah garang
“Apa mereka percaya hari ini anakmu lapar sementara kantor ini bertambah megah bangunannya.”
Aku terdiam sejenak mencoba memahami
“Kau tahu, sedikit pun aku tak bahagia atas apa yang kulihat hari ini”
“Maksudmu?”
“Gedung baru itu”, mata Zen memerah memadang gedung dari balik jendela.
“Ada apa dengan gedung baru itu?” aku tambah penasaran
“Apa kau melihat hantu?”
“Bukan”, jawab Zen dengan cepat
“Sesuatu yang lebih menakutkan dari hantu”, bisiknya di telinga kananku yang membuatku semakin penasaran.
“Apa? ayolah, apa?” aku mendesak dan semakin penasaran
“Hantu tak pernah membunuh kawan”.
“Maksudmu ?” aku dibuatnya bingung
Zen berteriak. Hantu tak pernah membunuh tapi mereka semuapembunuh. Suaranya lantang di telingaku. Aku tercengang dengan pernyatanya yang membingungkanku sejujurnya.
Aku juga Zen. Entah kenapa aku jadi bercerita sambil berjalan-jalan kecil. Sudah tiga tahun juga aku meyakinkan istriku akan buah dari kesabaran. Dan selama tiga tahun itu pulalah wanita yang ku panggil“umi” itu pun meyakininya.Sudah enam tahun lebih pula aku menanti kepastian atas statusku yang runyam dalam hidupku. Zen terlihat menunduk. Sementara aku terus saja bercerita tak peduli dengan bingar peresmian gedung di balik jendela.
Sirine kembali dibunyikan. Aku bergegas mendekati jendela. Di lenganku secarik kertas slip gaji yang tak sengaja kuremas. Seorang nenek tua dengan gelang dan giwang yang menutupi telinga dan lengan memegang gunting berwarna hitam. Wanita tanpa kelopak mata itu. Perempuan yang sama ketika peresmian pembangunan gedung 12 lantai ini akan dimulai. kali ini tugasnya bukan meletakan batu melainkan mengunting seuntai kain sebagai lambang peresmian gedung. Di belakang nenek tua itu wajah-wajah yang kukenal tentunya. Aku melihat tawa-tawa lebar di balik jendela dan derita keluarga kami.
bruk, bunyi benda terjatuh mengagetkanku. Aku menoleh ke arah Zen dan mengalihkan keingintahuanku dari balik jendela. Zen, rekan kerjakuambruk di lantai berlumur darah. Kepalanya membentur dinding pembatas ruang berbahan triplek bercat coklat. Dari tanganya mengalir darah segar. Tentu saja Aku bergegas menghampirinya dan mencoba merangkul kemudian membaringkannya. Sebuah pisau karter tergeletak disebelah tanganya. Nadinya terlihat terputus. Aku gugup melihat genangan darah. Ingin muntah rasanya. Aku segera berteriak minta tolong. Belum sempat aku berteriak. Bunyi sirene dan petasan akhir dari peresmian gedung mengudara. Suaraku kalah telak, aku berlari ke ruang sebelah. Tapi tak seorang pun yang terlihat. Aku kembali berteriak lebih keras tapi teriakanku tak terdengar telinga orang. Aku pun akhirnya berlarimenuruni anak tangga dalam remang karena belum sempat makan. Kakiku terkilir dan tubuhku terjatuh dari anak tangga. Kepalaku membentur lantai.
Seketika peresmian gedung dihentikan sebelum waktunya, peristiwa terjatuhnya aku menarik perhatian di penghujung pesta. Beberapa orang mencoba menyadarkanku. Para pimpinan yang menurut Zen pembunuh terlihat panik dan tambah garang dengan bentaknya pada bawahan. Bukanya menolong, mereka terlihat sibuk memohon untuk tak meliput kejadian ini pada jurnalis yang hadir. Di lenganku slip gaji bulan ini berlumur darah. Hampir saja seorang jurnalis dengan topi khasnya melihat slip yang bisa jadi menjadi kunci siapa penyebab terbunuhnya kami. Tapi aku bukan orang yang tak tahu diri atas budi. Sebelum itu terjadi, aku malah menelan slip tak seberapa itu bukan karena lapar