Arus kanal digital informasi yang mengalir deras tak terbendung bak banjir air bah, tanpa kesempatan dan kemampuan untuk menyaring, layaknya pisau bermata dua. Di satu sisi membawa segala kebaikan dan manfaat dari terbukanya dunia tanpa batasan demografis, namun di sisi lain menjadikan mereka yang aktif di dunia digital seringkali kesulitan membedakan antara fantasi dan realita.
Ketua Komunitas 8 Digit, Imam Mubin, menjelaskan bahwa kecanduan digital mengakibatkan menurunnya kemampuan seseorang untuk menjalani proses – proses sebagai mahluk hidup dan juga mahluk sosial.
“Fenomena ini bisa kita lihat dengan mudah di era sekarang, anak sekolah tawuran dengan bentuk senjata yang aneh – aneh layaknya maen game, seakan manusia itu tanpa rasa sakit dan bahkan terkadang nyawa tidak ada artinya”, katanya.
Ditambahkannya pula, segelintir hal tersebut bukan hanya terjadi di kalangan gamers, tapi juga sudah menjadi hal umum, mulai dari pedagang hingga pebisnis sekalipun.
“Pedagang yang mau jualan secara online merasa bisa langsung laris manis, pebisnis menganggap bisa langsung sukses dengan melalui online, dan lain sebagainya. Padahal kenyataannya butuh proses panjang untuk laris manis ataupun sukses, ada hukum alam sebagai mahluk sosial yang harus melalui tahapan proses by proses dengan baik, bukan abrakadabra” jelasnya.
Imam, yang sudah 17 tahun menjadi programmer ini, sempat merasakan manisnya berbisnis aplikasi teknologi. Namun meredup, saat itu terlupa bahwa di kehidupan nyata ada kompetitor dan tidak dapat dapat di lawan dengan baris-baris program ataupun cuitan semata dari balik layar monitor.
“Era sekarang sebagai revolusi ke 4, yakni revolusi digital adalah keseimbangan antara dunia maya dan dunia nyata. Dengan persaingan global menuntut kita harus memiliki diferensiasi, skill tinggi, namun benar-benar harus merawat hubungan sosial as human”, jelasnya.