Kilas Bogor – Soe Hok Gie, pria yang lahir 17 Desember 1942 dan merupakan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI) tahun 1962 -1969 sekaligus seorang penulis yang mendirikan Mapala UI, dan Mapala pertama di Indonesia.
Bagi sebagian orang, namanya sudah tidak asing lagi ditelinga dia juga dikenal sebagai seorang aktivis Indonesia Tionghoa yang menentang kediktatoran berturut-turut dari Presiden Soekarno dan Soeharto.
Bagi kalangan mahasiswa nama Soe Hok Gie sangatlah populer. Sosok pendaki legendaris itu menjadi inspirasi bagi para pecinta alam di masa kini. Dikutip dari sejumlah media, kisahnya bermula tepat pada 12 Desember 1969 Soe Hok Gie bersama teman – temannya berangkat ke Gunung Semeru untuk melakukan pendakian.
Pada momen itu, merupakan pendakian yang istimewa bagi Soe Hok Gie. Pada 17 Desember dia akan merayakan ulang tahun yang ke-27 diatas gunung tertinggi di Pulau Jawa dengan ketinggian 3.676 Mdpl (meter di atas permukaan laut). Pada 12 Desember 1969, tim pendakian Gunung Semeru sudah berkumpul di Stasiun Kereta Api Gambir, Jakarta Pusat, sebelum pukul 06:00 WIB.
Ketika itu, pendakian dipimpin oleh Herman Onesimus. Kemudian, kereta melaju ke arah Timur, hingga tengah malam, seusai makan nasi soto sulung di stasiun, rombongan berangkat dengan kendaraan sewaan ke desa terdekat di kaki Gunung Semeru.
Menurut buku Belanda, rombongan harus ke Kecamatan Tumpang menjelang Kota Malang, lalu mendatangi Desa Kunci, desa terakhir yang dilalui jalan mobil.
Dengan bekal buku terbitan Belanda tahun 1930 tentang panduan naik Semeru. Soe Hok Gie bersama kawan-kawannya menggunakan jalur yang tak umum. Biasanya, penduduk mendaki melalui Desa Ranupani yang landai, tim mendaki lewat Kali Amprong mengikuti pematang Gunung Ayek Ayek, sampai turun ke arah Oro Oro Ombo.
Lalu, mereka mendirikan kemah di Oro Oro Ombo dan salah seorang kawan Soe Hok Gie bernama Artides mengalami hal yang tidak mengenakan. Saat itu dia mimpi terjadi kecelakaan di gunung dan melihat tiga mayat.
Agar tidak mematahkan semangat rombongannya untuk melakukan pendakian, Artides menyimpan rapat mimpi buruknya. Mereka tetap melanjutkan perjalanan dari Oro Oro Ombo, dan Aristides memimpin dengan berjalan di depan.
Perjalanan semakin sulit, pandangan jalan yang terutup kabut. Oleh karenanya, Soe Hok Gie mengambil alih komando, di tengah perjalanan Soe Hok Gie terlihat termenung. Perjalanan terus berlanjut, di Recopodo mereka membentangkan ponco untuk jadi tempat perlindungan, meninggalkan tas dan tenda.
Rombongan itu dibagi dua kelompok dengan membawa minuman untuk bekal menuju puncak. Aristides, Soe Hok Gie, Rudy Badil, Maman, Wiwiek dan Freddy, sedangkan Herman bersama Idhan.
Menjelang sore rombongan sampai di Puncak Mahameru dan tenaga mereka pun sudah habis. Soe Hok Gie menunggu Herman yang tertinggal di belakang. Tiba – tiba rekannya bernama Maman meracau. Akhirnya Aristides dan Freddy bahu membahu membawa Maman kembali ke shelter.
Sebelum Badil turun, Soe Hok Gie menitipkan batu dan daun cemara untuk diberikan kepada teman-teman perempuan yang dekat dengannya. Ia pun menitipkan kamera Aristides.
Akhirnya Herman dan Idhan tibalah di Puncak Mahameru, saat itu Soe Hok Gie dalam kondisi duduk dan kemudian Idham ikut duduk, tetapi Herman tetap berdiri. Menurut Herman, Soe Hok Gie dan Idhan menghirup gas beracun yang massanya lebih berat dari oksigen.
Herman bercerita kondisi Soe Hok Gie sudah sangat lemas.
“Tahu-tahu dia enggak ngomong, menggelepar,” kata Herman.
Ketika itu, Soe Hok Gie pun meninggal dan selang waktu yang singkat, Idhan meninggal menyusul Soe Hok Gie.Namun, evakuasi jenazah Gie dan Idhan dilakukan dengan proses yang panjang. Pada 24 Desember, jenazah keduanya baru tiba di rumah masing-masing.
Kemudian jenazahnya disemayamkan di Fakultas Sastra UI Rawamangun.
(Oly)